Berbeda pendapat adalah suatu hal yang niscaya. Dengan adanya berbagai latar belakang manusia, karakter dan tingkat kecerdasan menjadikan perbedaan merupakan suatu hal yang tidak bisa dihaindari.
Dalam menyikapi adanya perbedaan, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah penting berkaitan dengan perbedaan yang terjadi. Kaidah-kaidah ini penting untuk diketahui oleh setiap muslim guna menjaga hubungan dengan saudara-saudaranya ketika berselisih faham dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
Diantara adab-adab tersebut adalah,

Lapang dada dalam menerima sebuah kritik yang membangun.
 Bagi yang mendapatkan kritik hendaklah memahami bahwa kritik adalah nasehat yang dihadiahkan oleh saudaranya seiman. Kritik atau nasehat merupakan bentuk perhatian saudara kita yang tidak ingin kita terjerumus ke dalam kesesatan. Akan tetapi hendaklah nasehat itu dilakukan dengan cara yang santun dan tidak di hadapan orang banyak.

Hendaklah memilih ucapan yang terbaik dan terbagus dalam berdiskusi denga sesama suadara muslim
Dari Abu Darda’, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Artinya: Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbanganseorang mukmin pada hari kiamat disbanding akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Alloh murka kepada orang yang keji dan jelek (akhlaqnya).” Tirmidzi

Hendaklah disksi yang dilakukan bertujuan untuk mencari kebenaran, bukan untuk membela hawa nafsu
Jika diskusi (tukar fikiran) sampai ke tingkat adu mulut, maka katakanlah :”salaam/selamat berpisah!” dan bacakannla padanya sabda Nabi,”Artinya: Saya adalah pemimpin di sebuah rumah di pelataran sorga bagi orang yang meninggalkan adu mulut meskipun ia benar" [Hadits Riwayat Abu Daud dari Abu Umamah al-Bahily]

Potret Salaf dalam menyikapi perbedaan
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hushain bin Abdurrahman, dia berkata : "Saya berada di tempat Said bin Jubair, lalu ia berkata : "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam ?
Saya jawab : "Saya, tetapi ketahuilah bahwa saya tidak dalam keadaan shalat, saya kena sengat binatang berbisa!".
Sa'id bertanya : "Apa yang kau perbuat ?"
Saya menjawab : "Saya melakukan ruqyah (baca-bacaan sebagai obat)"
Said bertanya : "(Dalil) apakah yang membawamu untuk melakukan itu ?"
Saya jawab : "Sebuah hadits yang diceritakan kepada kami oleh As-Sya'bi".
Sa'id berkata :"Apa yang diceritakan Asy-Sya'bi kepadamu ?"
Saya jawab : "Dia bercerita kepada kami dari Buraidah bin Al-Hushain bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak ada ruqyah kecuali (pada penyakit yang timbul) dari mata (orang yang dengki) dan bisa (racun) hewan"

Dia berkata : "Sungguh bagus orang yang berpedoman pada apa (riwayat) yang ia dengar, akan tetapi Ibnu Abbas menceritakan kepada kami bahwa .....(sampai akhir hadits)"

Perhatikanlah adab mulia yang dimiliki pewaris ilmunya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini, ia tidak memaki Hushain bin Abdurrahman (orang yang berselisih dengannya), bahkan menganggapnya baik karena Hushain mengamalkan dalil yang ia ketahui. Kemudian baru setelah itu. Sa'id bin Jubair menjelaskan hal yang lebih utama (untuk dilakukan) dengan cara yang lembut dan dikuatkan dengan dalil.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Link Sahabat

Link yang bermanfaat

Social Icons

Posting Terkini

Pengnjung Via Map

Featured Posts